Hikmah Memberi Nafkah Perempuan yang Telah Ditalak


Hikmah Memberi Nafkah Perempuan yang Telah Ditalak


BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Allah tidak pernah menetapkan bagi kita satu permasalahan  ataupun kaidah kecuali bila disertai dengan hikmah yang besar yang semuanya itu mengantarkannya kepada kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Salah satu ketetapan Allah bagi seorang laki-laki adalah memberikan nafkah bagi istri yang telah ditalak pada saat masih masa iddah.[1]
Hikmah ditetapkannya nafkah waktu iddah setelah terjadinya suatu perceraiaan lebih disebabkan karena hukum syariat telah memerintahkan hamba untuk menunaikan kewajiban dengan ketentuan masanya yang jelas hingga hal tersebut bisa dipahaminya dengan baik. Disini hendaknya bisa dipahami, mengapa Allah menjadikan hal tersebut sebagai satu ketetapan dan kewajiban yang harus dijalankan oleh seorang laki-laki yang telah menceraikan istrinya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan nafkah?
2.      Apa hikmah memberikan nafkah bagi wanita yang telah ditalak?


BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian Nafkah

Nafkah dari segi bahasa النَفَقَةُ adalah masdar mujarad yang di ambil dari kata الاَنْفَاقُ (masdar mazid). Secara etimolog nafkah dapat diartikan sebagai berikut:
االنَفَقَةُ فِى اللُغَةُ : الاَ خْرَاجَ وَ الذَهَابَ يُقَالُ تَفَقَّتُ الدَابَّةُ خَرَجَتْ مِنْ مَلِكُ صَا حِبَطُ بِا لبَيْعِ اَوْالهَلاَكِ كَمَا يُقَالُ نَفَقَتْ السلعة اِذَا رَاحَتَ بِا لبَيْعِ
Artinya : “Nafkah menurut bahasa adalah : mengeluarkan dan pergi.dikatakan : saya menafkahkan ternak “apabila ia (ternak telah keluar dari pemilikkan nya), menjual atau merusaknya sebagai mana dikatakan : “saya menafkahkan benda ini” apabila ia benda ini habis terjual.
Sedangkan menurut terminologi seperti yang diungkapkan para fuqaha’ adalah sebagai berikut:
ااَخْرَاجُ الشَخَصَ مُؤْمِنَةُ مِنْ تُجَبُّ عَلَيْهِنَّ نَفَقَةُ مِنْ خَبَزَ وَ اَدَمَ وَمَسْكُنُوْا مَا يُتَبِّعُ ذَالِكَ مِنْ ثَمَنَ مَاءً وَرَهِنَ وَمُصَبَاحَ وَ نَحْوَ ذَالِكَ
Artinya : “Seseorang yang wajib menafkahi orang lain, mengeluaran tanggungan berupa roti, lauk pauk, pakaian, tempat tinggal, dan apa–apa yang berhubungan dengan keperluan hidup sehari–hari, seperti air, minyak lampu, dan lain sebagainya.”[2]
      Selanjutnya Sayyid Sabiq memberikan definisi nafkah sebagai berikut :
النَفَقَةُ هُنَا نَوْفَدُ مَا تَحْتَاجُ اِلَيْهِ الزَوْجَةُ مِنْ طَعَامِ وَ مَسَكِنِ وَخَزَمَةُ وَدَوَاءُ وَاَنَّ كَانَتْ غَنِيَّةُ
“Yang dimaksud dengan nafkah disini adalah pemenuhan kebutuhan istri berupa makanan, tempat tinggal, pelayanan, dan pengobatan meskipun istri berkecukupan.”[3]
Nafkah merupakan kewajiban seorang suami terhadap isterinya, dimana tidak ada perbedaan pendapat mengenai masalah ini.[4] Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Adapun landasan atas wajibnya memberi nafkah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2):233 yang berbunyi:
      وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلٰدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚلَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚلَا تُضَآرَّ وٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦ ۚوَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۗفَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوٓا۟ أَوْلٰدَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ ۗوَاتَّقُوا۟ اللَّهَ وَاعْلَمُوٓا۟ أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴿البقرة:٢٣٣﴾
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” Al Baqarah: 233 ﴿[5]
Dan dalam Qs. An-Nisa’ (4):5 Allah berfirman yang berbunyi:
وَلَا تُؤْتُوا۟ السُّفَهَآءَ أَمْوٰلَكُمُ الَّتِى جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيٰمًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا۟ لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوفًا﴿النساء:٥﴾
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” An Nisaa: 5 ﴿[6]

B.     Hikmah Memberi Nafkah Bagi Istri yang Telah Ditalak

Perempuan yang menjalani masa iddah dan masih dapat dirujuk dengan suami, dan perempuan hamil yang menjalani iddah, berhak atas nafkah, berdasarkan firman Allah terkait perempuan-perempuan yang masih dapat rujuk suami Qs. Ath-Thalaq (65):6 yang berbunyi:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu”[7]
Dan juga berdasarkan firman Allah swt mengenai perempuan-perempuan hamil yang menjalani masa iddah Qs. Ath-Thalaq (65):6 yang berbunyi:
وَإِن كُنَّ أُو۟لٰتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا۟ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”[8]
Hal tersebut sebagai wujud adanya hubungan antara perempuan yang hamil dan suaminya, dengan adanya janin jika ia dalam keadaaan hamil.[9]
لما فرض الشارع الحكيم عدة المطلقة فرض لها على المطلق الإنفق عليها لأنه هو الذي تسبب في ذلك. وصارت المرأة مقيدة عن الزواج حتى تنقضي العدة شرعا. وأيضا قد يجوز أن المطلقة تكون فقيرة ولا عائل يعولها. فإذن والحالة  هذه وجب الإنفق عليها في عدة العدة واستعدادها لزوج آخر. ولشدة الشارع في أمر النفقة وخص لها الستدانة إذا كان فقيرأ معسرأ ونظرة إلى ميسرة.[10]
Allah swt telah mewajibkan adanya iddah (masa tunggu) bagi istri yang dithalaq. Bersamaan dengan itu Dia juga telah mewajibkan kepada suami yang menthalaq untuk memberikan nafkah kepada isteri yang telah ia ceraikan. Kewajiban memberi nafkah ini dibebankan kepada suami karena dia telah menyebabkan terjadinya perceraian dengan mengucapkan kata thalaq.
Istri yang dithalaq sebelum masa iddahnya habis, masih terikat dengan hak suami yang mencerainya. Dan terkadang dia berasal dari keluarga miskin dan tidak ada orang lain yang bisa diandalkan. Karena itu sudah semestinya dia diberikan nafkah selama masa iddahnya sebagai persiapan untuk pernikahan selanjutnya. Karena besarnya perhatian Islam terhadap kondisi wanita yang telah dicerai, agama ini memberikan mereka izin mengambil pinjaman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.[11]


BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Dari pemaparan diatas penulis menyimpulkan bahwa Allah swt dalam menetapkan syariat-Nya ada hikmah dibalik itu semua. Hal itu ditujukan agar manusia dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Maka Allah mensyariatkan untuk memberikan nafkah pada wanita yang telah ditalak pada waktu iddah. Pada masa iddah tersebut masih ada hak wanita yang telah ia ceraikan yakni memberi nafkah sampai masa iddahnya habis untuk digunakan sebagai modal awal untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya. Tujuan disyariatkannya ialah untuk menjaga nyawa (hifdzun nafs) seorang wanita yang telah diceraikan supaya tidak terlantar.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Syaikh ‘Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmatut Tasyri’ Wa Falsafatuhu Juz 1 , Daarul Fikr.
2.      Syaikh ‘Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmah Dibalik Hukum Islam (Bidang Muamalah), Ter. Erta Wahyudin Firdaus dan Mahfud Lukman Hakim, Mustaqiim, Jakarta, 2003.
3.      Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, Gema Insani, Depok, 2006.
4.      Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3 Cet. Ke-2, Cakrawala Publishing, Jakarta, 2011.
5.      Dr. Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, Amzah, Jakarta, 2010.
6.      Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1998.
7.      Dep.Ag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Gema Risalah Press Bandung, Jakarta, 1992.
8.      http://perjalananhidupqu.blogspot.co.id/2010/02/nafkah-dan-iddah-menurut-hukum-islam.html


[1] Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, Gema Insani, Depok, 2006, hal: 380
[2] http://perjalananhidupqu.blogspot.co.id/2010/02/nafkah-dan-iddah-menurut-hukum-islam.html
[3] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3 Cet. Ke-2, Cakrawala Publishing, Jakarta, 2011, hal: 427
[4] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1998
[5] Dep.Ag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Gema Risalah Press Bandung, Jakarta, 1992, hal: 57
[6] Ibid., hal: 115
[7] Ibid., hal: 946
[8] Dep.Ag RI, loc.cit.
[9] Dr. Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, Amzah, Jakarta, 2010, hal: 343
[10] Syaikh ‘Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmatut Tasyri’ Wa Falsafatuhu Juz 1 , Daarul Fikr, hal: 63
[11] Syaikh ‘Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmah Dibalik Hukum Islam (Bidang Muamalah), Ter. Erta Wahyudin Firdaus dan Mahfud Lukman Hakim, Mustaqiim, Jakarta, 2003, hal: 160

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh soal dan jawaban cara menghitung zakat

CONTOH ILLAT HUKUM DALAM AL-QUR'AN DAN HADITS

HUKUM MEMBACA BASMALAH DIDALAM SHALAT