Makalah Fiqih Munakahat STATUS HUKUM ANAK LUAR NIKAH
Makalah Fiqih
Munakahat
STATUS HUKUM
ANAK LUAR NIKAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pergaulan bebas di antara muda-mudi, seperti
yang terjadi sekarang ini seringkali membawa kepada hal-hal yang tidak di
kehendaki, yakni terjadinya kehamilan sebelum sempat di lakukan pernikahan.
Sehingga, lahirlah seorang anak tanpa adanya pernikahan dari seseorang. Ini
menimbulkan perhatian khusus dalam menentukan statusnya, baik dalam penentuan
nasab, waris, dan lain lain.
Di dalam permasalahan tersebut
penulis akan mengulas dari dua sudut pandang yakni, dari sudut pandang hukum
islam dan hukum Negara Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan anak luar nikah?
2.
Bagaimanakah kedudukan / status anak diluar nikah menurut hukum
Islam?
3.
Bagaimanakah kedudukan / status anak diluar nikah menurut hukum
Negara Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Anak Luar Nikah
Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari
hasil dari hubungan diluar nikah. Dalam islam yang dipandang sebagai anak luar
nikah adalah anak zina. Anak zina adalah
anak yang lahir dari hasil hubungan tanpa pernikahan, biasa juga disebut dengan
anak tidak sah karena dilahirkan diluar perkawinan yang sah.
Adapun perkawinan yang sah dan diakui di
Indonesia ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku (pasal 2 (1) dan (2) UU No. 1 Tahun 1974). Dan pencatatan perkawinan
dilakukan oleh pegawai pencatat nikah dari KUA untuk orang yang beragama islam.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 42, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Dan didalam KHI Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah dan merupakan hasil perbuatan suami istri yang sah diluar
rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
B. Status Hukum Anak Luar Nikah Menurut Hukum Islam
Menurut Hukum Perdata Islam, anak zina itu
suci dari segala dosa orang yang menyebabkan keberadaannya didunia ini, sesuai
dengan hadis Nabi Muhammad SAW:
كل مولود يولد على الفطرة حتى يعرب عنه لسانه
فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه. (الحديث)
Artinya: “Semua anak dilahirkan atas
kesucian / kebersihan (dari segala dosa / noda) dan pembawaan beragama tauhid,
sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan
anaknya menjadi Yahudi, atau Nasrani atau Majusi”. (Hadis riwayat Abu
Ya’la. Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Al-Aswad bin Sari’).
Dan berdasarkan firman Allah dalam surat
An-Najm ayat 38:
أَلا
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
Artinya: “(yaitu) bahwasanya seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Oleh karena itu, anak tersebut harus
diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran, dan ketrampilan
yang berguna untuk bekal hidupnya dimasyarakat nanti.
1. Status Nasab
Kedudukan hukum bagi anak zina tidak bernasab
kepada laki-laki yang melakukan zina terhadap ibunya. Ia tidak mengikuti nasab
laki-laki pemilik sperma yang menyebabkan kelahirannya, tetapi nasabnya
mengikuti kepada ibu yang melahirkannya. Maka hal ini berakibat pula pada
hilangnya hak anak kepada ayah. Antara keduanya adalah sebagai orang lain.
Para ulama telah sepakat mengenai tetapnya
hubungan nasab seorang anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah.
Namun, mereka berbeda pendapat mengenai tetapnya hubungan nasab semata-mata
karena akad nikah saja tanpa adanya persetubuhan didalamnya.
Sebagian ulam berpendapat, bahwa akad nikah
itu merupakan sebab utama timbulnya hubungan nasab antara seorang anak dengan
orang tuanya. Jika terjadi kehamilan tanpa adanya hubungan kelamin diantara
suami istri, maka anak tersebut dapat dinasabkan kepada ayahnya. Sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh Imam Abu Hanifah sebagai berikut.
“Sesungguhnya akad nikah yang shahih dengan
sendirinya menjadi sebab tetapnya nasab seorang anak, meskipun didalamn
perkawinan itu antara suami istri tidak pernah bertemu sama sekali. Sehingga
jika terjadi suatu perkawinan dimana si istri berada diujung barat dan suami
diujung timur dan perkawinan keduanya hanya melalui surat, kemudian si istri
melahirkan anak, maka nasab anak itu dihubungkan kepada ayahnya, meskipun tidak
pernah bertemu sama sekali sesudah terjadinya akad”.
Jumhur fuqaha berpendapat, bahwa akad nikah
dan hubungan kelamin (dukhul) merupakan sebab terjadinya hubungan nasab.
Kemudian jika terjadi kelahiran sebelum enam bulan minimal semenjak terjadi
akad, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada ayahnya.
Dengan demikian, maka dukhul merupakan sebab utama timbulnya hubungan nasab
disamping akad nikah yang sah diantara kedua orang tuanya.
Dari dua pendapat diatas, dapat disimpulkan
bahwa anak yang dihamilkan diluar nikah, kemudian ibunya menikah dengan orang
yang menghamilinya dan minimal enam bulan dari waktu itu dapat dihubungkan
nasabnya pada ayahnya. Dengan demikian, anak tersebut menjadi anak yang sah dan
berlaku baginya semua ketentuan yang berlaku bagi anak yang sah.
Ketentuan bahwa istri melahirkan anaknya
minimal setelah berlalu 6 bulan dari akad, adalah batas masa hamil yang paling
sedikit menurut hukum islam. Sedangkan masa hamil yang terlama dari seorang
wanita tiada nash yang jelas didalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pendapat fuqaha
tentang masalh ini berbeda-beda mulai dari 9 bulan menurut madzhab Dzahiri, 1
tahun menurut Muhammad bin abdul Hakam Al-Maliki, 2 tahun menurut madzhab
Hanafi, 4 tahun menurut madzhab Syafi’i dan 5 tahun menurut madzhab Maliki.
Menurut hemat penulis, pendapat madzhab Dzahiri adalah yang paling mendekati
kebiasaan / pengalaman wanita hamil berdasarkan realitas dan empirik.
2. Status Kewarisan
Hukum islam tidak menetapkan hubungan
kewarisan terhadap anak zina dengan ayah
(laki-laki yang membuahinya), karena anak zina tidak mempunyai hubungan
kekerabatan dengannya. Seangkan hubungan kekerabatan itu timbul atas dasar akad
nikah yang sah sebagaimana yang telah ditentukan oleh syari’at Islam. Tetapi
seorang anak mempunyai hubungan anak deng ibun dan kerabat ibunya dan ia berhak
mendapat warisan dari pihak ibu dan
kerabat ibunya. Tidak ada pengakuan dan pengesahan terhadap anak zina, karena
hukum Islam hanya mengenal anak sah menurut syara’.
Menurut Ahlu Al-Sunnah, anak zina mempunyai
hubungan keawarisan dengan ibu dan kerabat ibunya saja. Dengan demikian, ia
hanya dapat menjadi ahli waris bagi ibu
dan kerabatnya seibu, tidak dari neneknya, karena anak zina bagi si nenek
adalah anak dari anak perempuannya dan menurut golongan ini anak dari perempuan
itu bukan ahli waris, kecuali dalam istilah ahli waris Zul Arham.
Selanjutnya golongan Syi’ah berpendapat bahwa:
anak zina tidak mempunyai hubungan kewarisan
dengan laki-laki yang membuahinya atu dengan kerabat laki-laki itu,
sebagaimana yang berlaku di kalangan ulama Ahlu Al-Sunnah. Tetapi berbeda
dengan mereka, golongan Syi’ah
berpendapat bahwa anak zina itu tidak mempunyai hubungan kewarisan dengan
ibunya. Alasannya bahwa hak kewarisan itu merupakan suatu nikmat, sedangkan
zina adalah perbuatan maksiat. Nikmat tidak dapat didasarkan pada maksiat
perbuatan zina.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa
tidak ada hubungan kewarisan antara anak zina dengan ayahnya. Sebagai jalan
keluar dalam hal ini, hubungan anak zina dengan ayah yang membuahinya dapat
dihubungkan melalui jalan hibah atau wasiat, bila sang ayah tersebut
bertanggung jawab atas perbuatannya yang dengan menyebabkan kelahiran anak itu,
karena dalam hukum Islam dikenal dengan adanya hibah dan wasiat. Ketentua ini
hanya berlaku untuk anak yang lahir diluar nikah yang sah.
C. Status Hukum Anak Luar Nikah Menurut Hukum Negara Indonesia
Didalam Kompilasi Hukum Islam BAB XIV tentang pemeliharaan
anak pasal 100 berbunyi: Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dan didalam UU Perkawinan No.
1 Tahun 1974 BAB IX tentang kedudukan
anak pasal 43 berbunyi:
(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yaitu:
a.
Anak luar kawin dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan
jika anak memiliki hubungan darah dengan ayahnya.
b.
Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan
anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya dengan
ahli waris lainnya.
c.
Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga
masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan ia
akan mendapatkan warisannya.
d.
Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya
pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal
keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak luar kawin
ini adalah anak dari pewaris.
e. Surat keterangan waris dapat dibuat namun
dapat terjadi permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan
waris.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Status hukum anak luar nikah menurut Hukum
Islam, KHI dan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 hanya memiliki hubungan dengan ibunya
saja dan tidak memilki hubungan apapun dengan ayah yang menyebabkan
keberadaannya. Sehingga anak tersebut dalam hal nasab dan kewarisan tidak ada
hubungan dengan ayahnya. Akan tetapi didalam putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
menghendaki adanya hubungan antara anak dengan ayah tersebut dengan alat bantu
ilmu pengetahuan sehingga anak tersebut dapat dihubungkan nasabnya kepada ayah
yang menghamili ibunya dan mendapatkan harta waris.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Dr. H. Huzaimah Tahido Yango, MA, 2005, Masail
Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, Bandung, Penerbit Angkasa.
2. Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta, CV Haji Masagung.
3.
________ , Uu No 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, Surabaya, Penerbit Arkola.
4.
________ , Kompilasi
Hukum Islam, 2012, Bandung,
CV
Nuansa Aulia.
Di mana jawabanya
BalasHapus